Minggu, 01 Mei 2011

ILMU USHUL FIQIH


Nama Buku : ILMU USHUL FIQIH
Pengarang : Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf
  1. Nash Syara’
Nash Syara’ dilaksanakan sesuai dengan pemahaman dari ungkapan, syarat, dalalah (petunjuk) atau tuntunannya.
  1. Mafhum Mukhalafah (Pengertian Kebalikan)
Kaidah ini adalah bahwa nash syara’ tidak memiliki petunjuk atas hokum yang dikandung oleh pengertian kebalikan dari bunyi nash. Tetapi hukum kebalikan yang tak terucap itu diketahui dari dalil syar’ yang lain seperti “asal adalah mubah”.
Firman Allah SWT :
“Katakanlah : Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir. (QS. Al-An’am : 145)
Bunyinya adalah haramnya darah yang mengalir, sedangkan halalnya darah yang tidak mengalir adalah mafhum mukhalafah (pengertian kebalikan) dari bunyi nash dan untuk ini tidak ada petunjuk dari ayat, tetapi diketahui dari hukum asal mubah atau dengan dalil syara’ yang lain. Seperti sabda Rasulullah SAW : “Dihalalkan bagimu dua bangkai dan dua darah : Dua bangkai adalah ikan dan belalang, sedang dua darah adalah hati dan limpa”.
Mafhum mukhalaf terbagi menjadi lima :
    1. Mafhum Al-Washfi (Pemahaman dengan sifat).
    2. Mafhum Ghayah (Pemahaman dengan batas akhir).
    3. Mafhum Syarat (Pemahaman dengan syarat).
    4. Mafhum ‘Adad (Pemahaman dengan bilangan).
    5. Mafhum Laqab (Pemahaman dengan julukan).
  1. Dalalah
Dalalah (petunjuk) yang jelas dari nash yaitu makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar. Jika nash itu mungkin untuk ditakwil, tetapi yang dimaksud bukan tujuan asal dari susunan katanya maka disebut zhahir. Jika mungkin untuk ditakwil sedangkan yang dimaksud adalah tujuan asal dari susunan katanya maka disebut nash. Jika nash itu tidak mungkin ditakwil tetapi hukumnya dapat dinasakh ( disalin) maka disebut mufassar. Dan jika tidak mungkin untuk ditakwil dari hukumnya tidak dapat disalin maka disebut muhakkam.
  1. Dalil Yang Tidak Jelas
Nash yang tidak jelas petunjuknya yaitu nash yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukkan makna yang dimaksud tetapi dalam pemahamannnya membutuhkan unsur dari luar. Jika kesamarannya dihilangkan dengan penelitian dan ijtihad maka disebut Al-Khafiy (samar) atau Al-Musykil (sulit). Jika kesamarannya tidak dapat dihilangkan kecuali dengan penjelasan dari syar’i, maka disebut Al-Mujmal (Global) dan jika tidak ada kemungkinan sama sekali untuk menghilangkan kesamaran itu maka disebut Al-Mutasyabih (serupa).
  1. Al Musytarak (Bermakna Lebih Dari Satu)
Yaitu lafal yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam.
  1. Al’am (Umum)
Yaitu lafal yang dibuat untuk makna yang satu, tetapi satu makna ini dapat diterapkan pada beberapa satuan yang tidak dapat dibatasi dalam satu lafal saja, meskipun kenyataannya dapat dibatasi seperti lafal At-Thalabah (beberapa mahasiswa) menunjukkan makna yang dapat diterapkan dalam satuan (mahasiswa) yang tak terbatas dan mencakup kesemuanya.
  1. Al Khaash (Khusus)
Yaitu satu makna yang diterapkan dalam satu satuan atau satuan yang terbatas. Seperti lafal Muhammad, At-Thaalib (seorang siswa), At-Thullaab Al-‘Asyarah (sepuluh siswa), seratus atau seribu.
    1. Bentuk Amar (Perintah).
    2. Bentuk Nahi (Larangan).
Isi :
Mukaddimah, berisi tentang perbandingan umum antara Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih yang dari perbandingan itu akan jadi jelas definisi Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, objek pembahasannya dan tujuan mempelajarinya juga pertumbuhan dan perkembangannya.
Bagian pertama, berisi tentang dalil-dalil yang menjadi dasar pengambilan hukum syara’. Dalam bagian ini dijelaskan luasnya sumber hukum dalam syariat Islam, kelengkapannya kekurangannya dan keluwesannya.
Bagian kedua, berisi tentang pembahasan-pembahasan hukum syara’ yang disyariatkan dalam Islam. Akan jelas keadilan Allah dan Rahmat-Nya dalam menghilangkan kesempitan bagi para mukallaf dan menghendaki kemudahan bagi mereka.
Bagian ketiga, berisi tentang kaidah-kaidah pokok dari segi bahasa yang diterapkan untuk memahami hukum dari nashnya.
Bagian keempat, berisi tentang kaidah pokok pembentukan hukum syariat Islam yang dijadikan pedoman dalam memahami hukum-hukum syara’ dari nashnya, tentang pembentukan hukum dari kejadian yang tidak memiliki nash. Dalam bagian ini akan jelas tentang tujuan syar’i secara umum dalam membuat dan menciptakan hukum-hukum syara’. Akan jelas pula tentang nikmat Allah SWT. yang telah diberikan kepada hambanya berupa pemeliharaan kemaslahatan mereka.

Alasan Memilih Buku :
Saya senang dengan buku ini disebabkan buku ini lebih mudah dipahami karena merupakan terjemahan langsung dari kitab aslinya. Isinya juga lebih lengkap disbanding buku Ushul Fiqih yang lain, dari segi penjelasan tentang hukum-hukum syariat Islam, sehingga memberikan kemudahan bagi para pembaca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar