PEMBAGIAN TASAWUF DAN TOKOHNYA
BAB I
PENDAHULUAN
Dasar-dasar
tasawuf telah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui
dari kehidupan Rasulullah Saw. cara hidup beliau yang kemudian
diteladani dan diikuti oleh para sahabat. Selama periode Makah,
kesadaran spiritual Rasulullah Saw. adalah berdasarkan atas
pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana
dilukiskan dalam Alquran surat An-Najm: 11-13;
11. Hatinya tidak mendustakan apa yang Telah dilihatnya[1429].
12. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang Telah dilihatnya?
13. Dan Sesungguhnya Muhammad Telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
Surat At-Takwir: 22-23.
22. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila.
23. Dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang.
Kemudian
ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai salah
satu masalah prinsipil dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Alquran
sebagai landasan utama. Karena manusia mempunyai kecenderungan sifat
baik dan sifat jahat, sebagaimana yang dinyatakan. “Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,” maka harus dilakukan
pengikisan terhadap sifat yang jelek dan pengembangan sifat-sifat baik,
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,” Berdasarkan
ayat ini, serta ayat yang senada, maka dalam tasawuf dikonsepkanlah
teori tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa).
Al-Ghazali membagi penyucian jiwa menjadi empat tahapan:
1. Bersih badan secara lahiriyah, seperti bersis dari kotoran, dan dari sesuatu yang najis.
2. Bersih dari semua perbuatan dosa dan kesalahan.
3. Bersih jiwa dari perbuatan yang tercela dan rendah.
4. Suci jiwa dari bentuk kesyirikan. Yaitu, mengabdikan diri kepada selain Allah Swt.
A. Latar Belakang
Tasawuf
timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama
Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Budha, muncullah anggapan
bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang
mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang
mengasingkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan di
gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu
bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu
mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati
baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari
khalayak ramai. Mereka adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka
menolong.
Pengaruh
filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras.
Dalam filsafatnya, Ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci,
kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang
bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena
itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia
harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta
ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga
demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari
alam Ruhani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang
terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang
Maha Suci, Ruh yang telah kotor itu dibersihkan dahulu melalui ibadah
yang banyak serta melewati beberapa ujian-ujian dari mulai membersihkan
diri dari segala dosa hingga mencapai rida Ilahi.
Dari
agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat
dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan
menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan
juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu
dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui
kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman
ittihad.
Kita
perlu mencatat, agama Hindu dan Budha, filsafat Yunani dan agama
Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang
dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi
pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis.
Hakekat
tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan
memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia
disebutkan Alquran dan Hadits. "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang
Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku
dipanggil."
Ayat
berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan
manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan
dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh
darah yang ada di lehernya.” Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan
diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri.
Disini,
sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah
perbuatan Tuhan. Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga
kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya
Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka
Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku pun dikenal.”
Disini
terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja
yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti
ittihad, maka hadis terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud,
kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah
ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan
kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa
ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat
merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadah ia
akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya
dan akhirnya mengalami persatuan Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan inilah
hakikat tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Pembagian tasawuf ?
2. Tokoh-tokoh tasawuf dan pemikirannya ?
3. Tujuan Penulisan
a. Agar mengetahui apa itu tasawuf.
b. Mengetahui pembagian tasawuf.
c. Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf dan pemikirannya.
4. Manfaat penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah, kita sebagai manusia harus :
§ Dapat menerapkan dan mempraktekan dari prinsip tasawuf sebagai dasar pola hidup yang sederhana dan tidak tamak.
§ Dapat melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan, dan kepada tuhannya.
§ Mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAGIAN TASAWUF
A. Pembagian Tasawuf
Sesungguhnya
banyak sekali pendapat-pendapat, buku-buku dan kitab-kitab yang
menjelaskan tentang pembagian tasawuf, maka dari itu kami menyusun
semuanya dalam makalah ini yaitu :
1. Pembagian Tasawuf yang Pertama
Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga
tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari
perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan terpuji,
Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang
harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda
dalam hal pendekatan yang digunakan, Pada tasawuf falsafi pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam
tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat
di kalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia,
hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada
tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang
tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang
buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan membatasi
manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.
Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
amaliyah atau wirid, yang selanjutnya di sebut sebagai tarekat. Dengan
mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falssafi, akhlaki maupun amali,
seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu
ia lakukan dengan sengaja, sadar, dan bukan karena terpaksa.
Harun
Nasution mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak.
Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan,
persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati,
suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah,
keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji,
disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus.Nilai-nilai ini yang harus
dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai pembentukan ke
arah pribadi yang mulia.
Dalam
tasawuf masalah ibadah sangat menonjol, karena bertasawuf itu pada
hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat,
haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan dalam mendekatkan diri kepada
Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam
hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam
Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam
Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar
ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang
dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang
yang berakhlak/berpribadi mulia.
Harun
Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah yang selalu melaksanakan
pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.
Hal itu dalam istilah sufi disebut dengan al-Takhallu bi akhlaqillah,
yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-Ittishaf bi
shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki
Allah.
2. Pembagian Tasawuf yang Kadua
Sesungguhnya
pembagian tasawuf yang kedua ini tidak jauh beda dengan yang pertama,
akan tetapi sedikit perbedaan pendapat dan nama yang yang terjadi
didalamnya.
a. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf
akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku,
akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode
tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk
menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf
seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam
pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental
yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek
lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan
tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian
yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa
nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu
sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1) Takhalli
Takhalli
merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang
sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak
tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan
akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan
duniawi.
2) Tahalli
Tahalli
adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri
dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan
kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan
menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun
internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban
yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang
bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada
Tuhan.
3) Tajalli
Untuk
pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli,
maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh
jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir
mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang
luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih
lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-Nya.
b. Tasawuf Falsafi
Tasawuf
Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori
tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum
dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani
bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf
dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam
bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam
artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa.
Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat
dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini
dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu,
mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat
itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang
ide-ide ketuhanan.
c. Tasawuf Syi’i
Kalau
berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana
dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak”
ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia
dapat meninggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara
keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat
kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki
pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok
itu mempunyai dua kesamaan.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Pemikirannya
Sesugguhnya
banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW. untuk
hidup seadanya dan tidak tamak, tapi kami disini akan membahas siapa
saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf :
1. Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat dan Ajarannya
Tasawuf
Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan
Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya,
mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca
keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab
kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”,
perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an
dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan
qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini
terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum
sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat
antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang
jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa
menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf
ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak.
Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan
setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan
Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri
as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini
yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan
abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau
konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh.
Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal
jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali
kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf
ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf
Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak
berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah
teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh
(tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi
sekarang ini.
a. Junaid Al-Baghdadi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz
al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan
keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia
meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang
luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam
jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi
fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab
imam Syafi`i.
Dikatakan
bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang
mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara
mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia
digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di
dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam
kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir
dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid
pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad
al-muhasibi.
Kemampuan
al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh
pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada
kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil
dimuka umum.
Al-Junaid
dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas
tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak
diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain
sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan
Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna,
meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan
diperanakkan.
Di
sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah
dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia
menegaskan
Al-Junaid
juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati
dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh
Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan
Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27);
dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa
tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada
habis-habisnya.
Disamping
al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia
juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
b. Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah
Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima
hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya
adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn
Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan
Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit
sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya.
Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat
usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan
diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa,
Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju
Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya,
kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan
karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan
masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu.
Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas
penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur
merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai
macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana.
Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh
Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan
panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada
peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari
matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari
Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf.
Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari
ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas
Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu
memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari
sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin,
hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq
untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan
ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah
merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini,
lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said
Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath
Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping
berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama
lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412
H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga
belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460
H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain,
seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq
Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun
belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab
Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy
banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai
doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary
(w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau
Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam
bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama
Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan
Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang
keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan
Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam
penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan
seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn
Mansyur al-Kunduri
Perburuan
terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya
Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M),
kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik
Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar
Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan
Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah)
menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang
mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul
(penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat
barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi
pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia
menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang
memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam,
cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo,
1983)
Dari
sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia,
selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau
tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan,
penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena
dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf.
Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika
itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan
yang menimpa dunia Tasawuf kala itu
Imam
Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang
berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau,
seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya
itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah
Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab
ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali
Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul
Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir
fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang
merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu
an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan
al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang
penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin
as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab
tafsir terbaik dan terjelas
Menurut
Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi
Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun.
Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi
padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu
sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut
mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani
memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala
‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
c. Al-Harawi
Nama
lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau
lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis
Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan
karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh
sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas
doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas
gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal
dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di
antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila
Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan
tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi
tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya;
”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak
dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya
bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya
tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta
keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam
kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan
kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan
ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam
kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut,
al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan
timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga
(dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari
perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias
mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang
mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan
dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang
diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid,
Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang
membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu
dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari
ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di
kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan
ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian
yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada
batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di
sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba.
Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada
kalbu seorang nabi atau wali.
2. Tokoh-tokoh Ilmu Tasawuf klasik :
a. Ibn Athaillah as Sakandary
Nama
lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M),
dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab
Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan
hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas
dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati
semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab
lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya
Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir
(Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir
berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan
ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab
Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
b. Al Muhasibi
Nama
lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama
"Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya
mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela
ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan
beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan
teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual
yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya
"Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan
spiritual.
c. Abdul Qadir Al Jilani
Abdul
Qadir Al Jilani (1077-1166) adalah seorang Sufi yang sangat tekenal
dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa
Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak.
Abdul
Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia
mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir
disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan
disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan
tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan
prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang
paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).
Melalui
Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat
(mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
d. Al Hallaj
Nama
lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia
dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para
pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati.
Al
Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari,
kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung
menjadi murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak.
Al
Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah
Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah
Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq
engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai
penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa
al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia
tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan".
Pada
jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya
justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir
atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau
misteri karena masih pro dan kontra.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk
kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada
hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat
yang mulia. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin
dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan
Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Al-Ghazali mengatakan bahwa
tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal
dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt.
Tasawuf
diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i
(tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan
serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain
sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan
ini Harun Nasution bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya
dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa,
dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak
orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik.
Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi
mulia.
Harun
Nasution lebih lanjut mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan
akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran,
kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan,
tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka,
berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat,
menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus.
Nilai-nilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf
sebagai pembentukan ke arah pribadi yang mulia.
Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2. Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3. Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4. Mencapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.
B. Saran
Setelah
para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak
kesalahan di dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih
jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
Bapak Dosen demi perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah
yang lebih baik.
Kemudain
diharapkan kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya,
agar bisa menambah referensi yang lebih mendukung, karena dalam
pembuatan makalah ini penulis hanya menggunakan beberapa referansi saja,
hal ini dikarenakan keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Miskawaih, Ibnu, Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1934
A-Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumuddin, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Jil. III
Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, edisi III, cet. Kedua.
Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
Manaf, Drs. H. Muhsin, Pschoanalisa Al-Ghazali Sofisme Holistic, urabaya: Al-Ikhlas, 2001
Mujib, M.ag., Abdul dan Jusuf Mudzakir M.si, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II
Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003