Senin, 25 April 2011

Konversi Agama


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Manusia memiliki naluri yang senantiasa mengajaknya untuk mencari dan menemukan hal yang lebih baik dalam hidup. Dalam setiap hari bahkan setiap detik kehidupannya, ia berusaha memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang pas dan mencari alternatif lain yang lebih baik. Manusia dengan akal budinya kemudian menjadikan hidup sebagai sebuah proses pencarian yang tidak pernah kunjung usai. Ia selalu mencari kepuasan dalam melakukan segala hal, namun ternyata kepuasan tersebut semakin tidak ia dapatkan.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, agama, di sisi lain merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia. Pada titik tertentu, ia menjadi sebuah kebutuhan yang mustahil dilepaskan dari segala partikel diri manusia, material maupun non-material. Dalam sebagian besar perjalanannya—atau bahkan pada hakikatnya—, agama telah sangat banyak memberikan kesejukkan dan kehangatan bagi spiritual dan atau jiwa manusia yang lapar dan haus akan kesejahteraan, kemakmuran, dan ketenangan. Namun, baik disadari maupun tidak, keterbatasan kemampuan ‘pencernaan’ manusia kerap tidak mampu menggapai puncak keistimewaan tersebut. Dalam konteks ini, manusia juga lazim mengeluh dan bahkan kecewa akan kondisi ‘psiko-Ilahiyah-nya, sehingga merasa terpanggil untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal keagamaannya. Dalam konteks ini, manusia juga kerap kali melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal keagamaannya. Contoh yang paling kongkrit adalah perbaikan kuantitas dan kualitas ibadah, perbaikan sikap dalam bergaul dengan orang lain, dan sebagainya. Perbaikan-perbaikan yang demikian senyatanya merupakan hal yang sangat manusiawi, sebab hati manusia pada dasarnya selalu mengarah kepada kebaikan.
Jika demikian, perbaikan-perbaikan yang terjadi pada manusia, khususnya dalam aspek agama berkait erat dengan kondisi hati atau jiwa seseorang. Di sinilah peran psikologi dalam menganalisis kondisi kejiwaan seorang yang beragama. Namun sayangnya, tidak ada metode yang membidik sasaran pada hal yang abstrak, dalam konteks ini adalah hati dan kondisi jiwa manusia, Sebab itulah dalam psikologipun, objek penelitian yang begitu diperhatikan adalah tingkah laku seseorang, sebab hal yang demikian –sedikit banyak—mencerminkan bagaimana kondisi jiwanya.
Perbaikan-perbaikan semacam ini lebih dikenal dengan istilah konversi dalam psikologi.Berbagai macam wujud konversi beragama banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik yang terjadi pada diri kita sendiri dalam taraf yang ringan maupun yang terjadi pada orang lain dengan taraf yang berbeda. Salah satu wujud konversi yang kerap kita lihat adalah terjadinya perpindahan agama dan atau aliran pemeluk agama, semisal beberapa fenomena sebagian masyarakat Tionghoa dan Amerika memeluk agama Islam seperti yang akan dipaparkan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Tahapan Konversi Agama
Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah pendirian terkait ajaran agama atau bisa juga berarti masuk agama. Menurut William James (2004) konversi berarti pertobatan dari merasa diri benar sendiri dan egois akhirnya menemukan kebahagiaan karena merasa dekat dengan Tuhan dan muncul pula perasaan peduli kepada orang lain. Inti konversi dari perspektif ini adalah "bangkitnya gairah" dan "penuh minat" terhadap agama yang baru dipeluknya itu.
Menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat (2003) yang dimaksud dengan Konversi Agama adalah terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula. Di dalam mengalami konversi agama, prosesnya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan pertumbuhan jiwa yang dilaluinya serta pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil, di tambah lagi dengan suasana lingkungan dia hidup dan pengalaman terakhir yang menjadi puncak perubahan keyakinan itu
Beberapa definisi yang digagas oleh para psikolog terhadap frase ini bisa dikatakan sama, meski dengan redaksi dan aksentuasi yang beragam. Definisi tersebut paling tidak menggambarkan bahwa konversi dalam pengertian ini merupakan perbaikan yang cukup signifikan, bahkan Zakiah Darajat (2003) menggunakan bahasa yang cukup ekstrim dalam hal ini, yakni dengan bahasa ‘berlawanan arah’. Clark juga menegaskan hal ini meski dengan bahasa ‘perubahan arah yang cukup berarti’. Dua sampel definisi ini bisa memfokuskan kajian kita pada kejadian-kejadian yang cukup insidental dalam keberagamaan seseorang.
Teori konversi agama (religious conversion) yang muncul pada era tahun 80-an hingga akhir abad 20 M- ini dapat diartikan dengan peristiwa perpindahan agama ataupun masuk agama. Secara etimologi, konversi berasal dari kata latin conversio yang berarti taubat, pindah, dan atau berubah (agama). Dalam Bahasa Inggris, conversion mengandung pengertian berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertaubat, berubah agama, berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran agama yang lama atau masuk ke dalam ajaran agama yang baru yang tentunya lebih baik, lebih menentramkan dan lebih menenangkan dari ajaran agama yang lama (menurut subyek konversi).
Berikut beberapa pandangan psikolog tentang arti konversi:
a) Heirich (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan masuk atau berpindah kepada suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
b) James (2004) mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or sudden, by which a self hit herro devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities. Artinya: “Berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kurang bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama”.
Dalam perspektif skop wilayah perpindahan, konversi dikatakan memiliki dua tipe; yakni konversi internal dan konversi eksternal. Konversi internal berarti sebuah konversi yang masih terjadi dalam satu rumpun agama besar, seperti pindah madzhab atau aliran, katakanlah dalam hal ini Al-Qiyadlah Al-Islamiyah. Sedangkan konversi eksternal adalah adanya perubahan antar rumpun agama. Dengan demikian bisa difahami bahwa konversi internal merupakan konversi dengan perubahan yang taraf signifikansinya masih lebih kecil dibanding konversi eksternal. Selain itu, masing-masing tipe tersebut memiliki beberapa tingkatan dengan taraf yang berbeda.
Konversi agama, kendatipun merupakan suatu hal yang manusiawi dan wajar, akan tetapi memiliki latar belakang dan tahapan-tahapan proses yang dialami oleh subjek konversi agama. Kendatipun, mengutip penjelasan James, tidak ada yang bisa menjelaskan semua hal dalam konversi agama secara detail, sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat abstrak., akan tetapi para psikolog telah merumuskan ciri atau gejala yang dialami subjek konversi, sebagaimana dikemukakan Ramayulis (2002) berikut:
Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya (perubahan pandangan ini bisa terjadi sendirinya dan berasal dari kegelisahan pribadi ataupun muncul setelah menerima doktrinisasi)
Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. (Secara adat, seseorang yang kondisi jiwanya labil cenderung mudah menerima doktrin, terlebih jika doktrin tersebut memberikan solusi terhadap kegelisahan yang dideranya)
Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
Adanya beberapa tahapan dalam konversi merupakan suatu keniscayaan, mengingat konversi adalah aktivitas perubahan arah yang sangat besar. Hal ini juga berlaku pada konversi yang terjadi secara spontanitas, kendatipun proses atau tahapan konversi tersebut tidak se-kasatmata seperti proses yang terjadi pada konversi yang bertahap. Seperti yang diungkapkan oleh Zakiah Darajat (2003), subjek konversi mengalami beberapa fase yang kemudian mengantarkannya pada konversi.Tahapan dan proses tersebut adalah:
Masa Tenang , yaitu sebelum mengalami konversi, jiwa seseorang tenang karena masalah agama belum mempengaruhinya.
Masa Ketidaktenangan, yaitu masa dimana masalah-masalah agama mulai mempengaruhi batin seseorang, bisa dikarenakan krisi, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya, sehingga terjadinya konflik dan pertentangan batin berkecamuk dalam hatinya. Perasaan-perasaan ini mengakibatkan seseorang menjadi lebih sensitive.
Masa Konversi, terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih.
Keadaan Tenteram dan Tenang, yaitu timbulnya perasaan atau kondisi jiwa yang baru, dimana jiwa merasa tenang dan tenteram yang timbul dari rasa puas terhadap keputusan yang sudah diambil.
Ekspresi Konversi dalam hidup, yaitu pengungkapan konversi agama dalam tindak – tanduk perlakuan, sikap dan perkataan dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturan – aturan ajaran agama
Beberapa tahap tersebut senyatanya tidak kemudian selalu dialami oleh subjek konversi. Secara umum, awalnya subjek akan mengalami kegelisahan, mencari hal yang bisa meredakan gelisahnya, memantapkan niat konversinya, kemudian melakukan konversi.
William James menambahkan bahwa konversi merupakan akibat atau tahapan dari proses pengeraman di otak. Dalam arti, subjek konversi mengalami kegelisahan menumpuk yang sudah lama dipendamnya. Perasaan-perasaan yang terpendam tersebut biasanya berwujud ketidakpuasan terhadap fungsi agama yang dianggap kurang membumi dan kurang bisa mengakomodir persoalan-persoalan serta kebutuhan pemeluknya. Adakalanya, kegelisahan tersebut berhasil diatasi dan diredam, namun tidak jarang, kegelisahan tersebut justru menjadi dorongan untuk melakukan hal yang besar. Dorongan tersebut bisa muncul dari dalam diri subjek (subjek secara aktif mencari solusi dari kegelisahannya) ataupun muncul karena ada pengaruh dari luar.
Dilihat dari awal mula proses konversi ini, James mengatakan ada dua macam konversi, yakni konversi melalui kemauan dan konversi melalui kepasrahan. Konversi yang pertama barangkali lebih representatif terhadap contoh subjek yang secara aktif mencari solusi dari kegelisahannya. Subjek konversi memang sengaja melakukan upaya untuk mencari pencerahan-pencerahan baru. Ia merasa tidak ‘betah’ pada ‘tempat’nya yang semula dan berusaha pindah pada’ tempat’ yang lebih memberinya kepuasan. Sedangkan tipe konversi yang kedua lebih berarti kejadian-kejadian spontanitas yang dialami subjek konversi. Ia menerima pesan dari alam bawah sadarnya yang kemudian menjadi awal konversinya. Pesan bawah sadar ini pada dasarnya dan pada lazimnya tidak akan muncul seketika tanpa adanya kegelisahan-kegelisahan yang sebelumnya dialami subjek.
B. Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama
A. Penido Penido (dalam Ramayulis, 2002), berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur:
1. Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
2. Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Sedangkan berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan factor yang manjadi pendorong konversi (Motivasi konversi). James dan Heirich (dalam
Ramayulis, 2002), banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut menurut pendapat dari para ahli yang terlibat dalam berbagai disiplin ilmu, masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama di sebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
B. Para Ahli Agama,
Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok.
C. Para Ahli Sosiologi,
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama karena pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
1. Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain).
2. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jka dilakukan secara rutin hingga terbiasa. Misal, menghadiri upacara keagamaan.
3. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga, famili dan sebagainya.
4. Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu pendorong konversi agama.
5. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
6. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja. Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa).
D. Para Ahli Ilmu Jiwa,
Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh factor intern maupun faktor ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga ia mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram.
E. James,
Dalam uraiannya James (2004) yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai berikut:1.Konversi terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap.2.Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses).
Kemudian James mengembangkan Faktor Penyebab konversi itu mengembangkan menjadi tipe Volitional (perubahan bertahap), konversi agama ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran. Kedua, tipe Self-Surrender (perubahan drastis), konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya.
Pada konversi agama tipe kedua ini James (dalam, Ramayulis, 2002) mengakui adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuh-penuhnya. Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa faktor antara lain:
1. Faktor Intern meliputi, pertama, Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James (dalam Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan konversi agama adalah jika seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya. Kedua, faktor pembawaan. Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak tengah kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2. Faktor Ekstern meliputi, pertama faktor keluarga. keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat dan alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya. Kedua, Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hinggakegelisahan batinnya hilang. Ketiga, Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya: perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, menikah dengan orang yang berbeda agama dan sebagainya. Keempat, Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan factor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
C. Fenomena Konversi Agama
Ada banyak fenomena-fenomena konversi agama yang terjadi, baik yang secara ekstrem berpindah ke agama lain semisal Nasrani ke Islam ataupun sebaliknya, maupun yang hanya berpindah ke aliran seperti jadi pengikut aliran al-qiyadhah aal-Islamiyah dan sebagainya. Salah satu fenomena yang penulis coba kaji adalah konversi agama seorang Franklin, (dimuat dalam majalah Annida, dalam Rubrik “Muda’) mahasiswa Amerika yang akhirnya memeluk agama Islam dan berusaha untuk berdakwah setelah menemukan kebenaran Islam.
D. Analisis Fenomena Konversi Agama
Seperti dijelaskan di atas, konversi (menurut para ahli jiwa) yang terjadi dalam batin dapat disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih. Lebih mudahnya kita menyebutnya dengan religious doubt atau keragu-raguan terhadap agama yang dianutnya sekarang. Begitu juga yang dialami oleh Franklin, dia mengaku masuk Islam karena dia merasa ragu terhadap agama yang dianutnya pada waktu itu (Nasrani) karena banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh agamanya. Akhirnya dia mempelajari semua tipe agama dengan harapan ada yang bisa menjelaskan berbagai pikiran yang berkecamuk dalam pikirannya. Sehingga akhirnya dia mempelajari al-Quran. Menurutnya Al-Qur’an adalah alasan utamanya menjadi muslim. Al-Qur’an menyatakan kebenaran padanya, tentang Allah dan banyak hal. Dia benar-benar tertarik sejak pertama kali membacanya. Padahal saat itu sebenarnya dia sedang taat-taatnya pada agama yang lama dan menjadi pastur muda di sekolah.
Sedangkan menurut para ahli agama masuknya Franklin ke agama Islam adalah karena hidayah Allah semata atau petunjuk Illahi. Setelah menjadi muallaf Franklin merasa banyak hal-hal baru yang luar biasa dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan salah satu karakteristik dari Religious Conversion yaitu perasaan seperti lahir kembali. Hal ini mengakibatkan rasa optimisme dan semangat untuk lebih mempelajari agama baru yang dianutnya, dalam hal ini adalah Islam.
Yang terakhir yang dapat dilihat dari fenomena muallafnya Franklin adalah semangat dakwahnya. Hal ini adalah karakteristik lain dari Religious Conversion yakni semangat menularkan pengalamannya dan mampu berkurban demi keyakinannya. Hal ini akan dimulainya dari orang tuanya terlebih dahulu.




















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konversi agama adalah proses dari sikap tidak peduli terhadap norma Agama, hingga penerimaan suatu sikap keberagamaan, proses itu bisa terjadi secara bertahap atau tiba-tiba. Proses ini menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar.
Menurut kajian psikologi agama, terjadinya perubahan arah dalam keyakinan seseorang tidak akan lepas dari penyebab utamanya, yaitu karena petunjuk atau Hidayat Ilahi, akibat penderitaan batin ataupun pilihan sendiri setelah melalui pertimbangan yang masak. Di awal-awal terjadinya perubahan tersebut, setiap diri merasakan kegelisahan batin. Sehingga sulit untuk memutuskan secara spontan mana yang harus diikuti.
















DAFTAR PUSTAKA
  • Darajat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang
  • James, William,. 2004. Perjumpaan dengan Tuhan, terj. Gunawan Admiranto, Bandung: Mizan,
  • Ramayulis. 2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta:
  • Majalah Annida No 01/XV (September-Oktober).

Jangan takut

Seorang pesakit yang akan dibedah terbaring di katil bilik bedah dengan muka yang pucat. Seorang doktor bedah muda masuk sambil menyapa pesakit tersebut dengan ramah.
“Awak kelihatan takut sekali, jangan bimbang, semuanya akan berjalan dengan baik dan lancar, jadi tabahkan hati mu…”
“Bagaimana tidak takut doktor, seumur hidup, inilah kali pertama saya dibedah.”
“Sama-sama, saya juga kali pertama buat pembedahan, saya sama sekali tidak merasa takut…”

Minggu, 24 April 2011

KECERDASAN ANAK


Orang sering berpikir bahwa anak yang cerdas adalah anak yang pintar dalam ilmu-ilmu exact, seperti Matematika dan IPA. Sementara orang yang berprestasi di bidang seni, seperti pelukis dan penyair, misalnya sering masih dipandang sebelah mata. Pada kenyataannya, kita tidak dapat mengingkari bahwa banyak orang sukses di dunia ini yang tidak berhasil secara akademis.
Juara dunia golf, Tiger Woods, misalnya, dia dianggap tidak berhasil di sekolah. Atau juragan perangkap lunak Microsoft, Bill Gates, adalah mahasiswa yang memutuskan keluar dari Harvard. Namun, mereka berhasil membuktikan diri menjadi orang yang sukses.
Nah, untuk mengembangkan berbagai potensi kecerdasan anak, sebaiknya kita intip apa yang dkembangkan oleh Dr. Howard Garaner. Dia seorang peneliti dari Harvard yang telah mengembangkan konsep Multiple Intelligences/Kecerdasan Majemuk yang mengajukan teori kedalam jenis kecerdasan, antara lain :
  1. Kecerdasan Linguistik/Bahasa
  2. Kecerdasan Logika Matematika
  3. Kecerdasan Gerak
  4. Kecerdasan Spasial
  5. Kecerdasan Musik
  6. Kecerdasan Intrapersonal
  7. Kecerdasan Interpersonal
  8. Kecerdasan Naturalis
Ada pula yang mengajukan Teori kecerdasan Transedental/Ruhani meskipun dalam praktiknya masih menghadapi perdebatan.
Untuk mengembangkan kecerdasan seorang anak, diperlukan tiga kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan fisik, emosi, dan stimulasi dini.

  1. Kecerdasan Linguistik/Bahasa
Kecerdasan bahasa dapat menunjukkan kecerdasan logika berpikir seorang anak. Jika dia bisa berbahasa/bicara dengan bagus dan lancar, niscaya logika berpikirnya juga akan bagus.
Anak-anak cenderung lebih sering menggunakan kata-kata yang “acak-acakan”. Tapi, Syifa, yang baru berusia 4 tahun, biasa berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan formal. Padahal, keluarganya terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari bercampur dengan bahasa daerah.
Untuk merangsang kecerdasan berbahasa verba sebaiknya anda :
  • Sering mengajak anak bercakap-cakap
  • Sering membacakan cerita/dongeng
  • Sering mengajarkan nyanyian/lagu
Pandai berbahasa bukan hanya berarti menguasai benyak bahasa, melainkan si anak mempunyai kemampuan dalam mengolah bahasa. Hal ini penting untuk mengajarkan bahasa ibu terlebih dahulu karena hal itu akan mendorog logika berpikir si anak.
Tidak semua anak cerdas dalam berbahasa. Seandainya si anak belum siap menerima multibahasa, Anda jangan memberikan dahulu. Bila guru dan orang tua menjejalkan anak dengan beragam bahasa, hasilnya anak akan mengalami kebingungan berbahasa.
Ingat ! stimulus dari lingkungannya akan mempengaruhi kemampaan otak si anak dan pada akhirnya, akan bermuara pada keterampilan anak dalam mengolah kata-kata dan berbicara. Biasanya, kurangnya kemampuan berbahasa pada anak terjadi apabila sejak kecil anak jarang diajak berkomunikasi.
  1. Kecerdasan Logika Matematika
Biasanya, logika matematika dikaitkan dengan otak yang melibatkan beberapa komponen, yakni perhitungan secara matematis, berpikir logis, dan pemecahan masalah. Anak dengan kemampuan ini akan senang berkutat dengan rumus-rumus dan pola-pola yang abstrak. Tidak hanya pada bilangan matematika, tetapi juga meningkat pada kegiatan yang bersifat analisis dan konseptual.
Ada kaitan antara logika matematika dan kecerdasan linguistik. Pada kecerdasan matematika, anak menganalisis dan menjbaarkan alasan logis, serta kemampuan mengonstruksi solusi dari persoalan yang timbul. Menurut Cardner, ciri anak yang cerdas matematika adalah anak yang suka mengotak-atik benda dan melakukan uji coba.
Di sini, guru dituntut untuk kreatif dalam mengenalkan dan mengajarkan konsep matematika. Sehingga murid menjadi fun dalam mempelajarinya dan tidak menganggap matematika sebagai sesuatu yang menakutkan.
Untuk meningkatkan kecerdasan matematika anak, ciptakan lingkungan matemtika. Tidak harus selalu berkutat dengan rumus-rumus serius, tapi bisa diselipkan dengan kegiatan sehari-hari. Misalnya, dengan menanyakan kepada anak : lebih besar tempat bekal si A atau si B? Atau, lebih berat mana tas si A atau si B? Dengan begitu, secara tidak langsung, kita telah mengajarkan kepada anak tentang konsep panjang dalam meter atau berat dalam gram.
Beberapa cara untuk membantu anak mengembangkan kecerdasan matematika, antara lain :
    • Perbanyak koleksi buku-buku referensi mengenai konsep matematika.
    • Buat permainan seru dengan melibatkan murid-murid dalam lomba-lomba, seperti berhitung dan permainan asyik lainnya.
    • Manfaatkan berbagai benda yang ada di sekitar kita sebagai media pengajaran. Misalnya, saat mengajarkan bangun ruang atau datar dan lingkaran, mintalah anak untuk mengamati pola dari beberapa bendera Negara dari buku-buku, bentuk atap rumah, dan sebagainya.
Selamat mencoba !!!

  1. Kecerdasan Gerak
Kecerdasan gerak merupakan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan ide dan perasaan dalam gerakan tubuh. Kecerdasan ini dimiliki orang-orang yang menggunakan koordinasi tubuhnya dan mampu mengontrol gerakan-gerakannya itu, seperti para atlet dan penari.
Anak yang menonjol dalam hal ini sering disebut body smart. Umumnya, anak cerdas gerak memeiliki kematangan motorik, baik motorik kasar, seperti berlari, menangkap, melempar, dan memanjat tebing, maupun motorik halus, seperti menulis, menggunting, dan menempel. Kedua tipe gerakan ini membutuhkan koordinasi visual-motorik, ketepatan keseimbangan, dan kelenturan.
Ada tiga pusat kemampuan kognitif dalam kecerdasan kinestetik/gerak yang merupakan komponen penting dari gerak tubuh, yakni :
    • Logika motorik merupakan kemampuan saraf otot untuk bergerak.
    • Memori kinestetik merupakan kemampuan anak mengatur batas dari gerakan melalui konstruksi otot, gerakan, dan posisi dalam ruang.
    • Kesadaran kinestetik merupakan kemampuan indra gerak anak untuk mengikuti perintah dan petunjuk.
Guru dapat membantu orangtua menemukan dan mengembangkan kecerdasan gerak anak sejak dini. Kecerdasan ini dapat diamati saat anak mulai melakukan gerak bertujuan, misalnya berjalan, melompat, memanjat, atau berlari. Bila anak terlihat mampu melakukan gerakan dengan sangat terampil dibandingkan dengan anak seusianya, berarti ada kemungkinan dia memiliki kelebihan dalam kecerdasan gerak. Melalui aktivitas orahraga atau seni, seperti menyanyi atau menari, anak dapat teramati kemampuan geraknya.
Kecerdasan gerak tidak sekedar melibatkan gerakan saja, tapi juga melibatkan kemampuan berpikir. Misalnya, meniru gerakan tarian atau menendang bola ke arah gawang. Pada usia 3 tahun, biasanya anak mulai menunjukkan ciri-ciri keunggulan dalam kecerdasan kinestetik. Kesiapan motoriknya sudah berkembang mendekati sempurna.
Sejalan dengan kesiapan fisiknya, anak juga mulai berkembang dalam kemampuan berpikirnya. Anak mulai mampu meniru dan menghafal gerakan sehingga ketika si anak diminta mengulang kembali gerakan tertentu, dia mampu melakukannya dengan baik.
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengembangkan potensi anak yang tergolong cerdas gerak, antara lain :
  • Menyediakan ruang yang cukup luas agar anak bisa menyentuh apa pun yang mereka lihat. Ajak anak ke tempat-tempat yang memicu eksplorasinya dalam menyentuh.
  • Memberikan anak ruang yang cukup untuk bergerak sehingga anak cerdas gerak belajar berinteraksi dengan ruang di sekitarnya.
  • Minta anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang berorientasi pada gerakan, seperti pementasan drama dan menari dalam kegiatn sekolah, senam, balet, dan olahraga. Beberapa aktivitas menawarkan anak belajar melalui interaksi spasial dan gerakan tubuh yang bermanfaat untuk membangun kepercayaan dirinya.
  • Melakukan beberapa kegiatan yang menunjang kemampuan gerak motorik anak, seperti memasukkan manik-manik ke benang, menggunting kertas, dan kegiatan kerajinan tangan lainnya.
  • Bermain petak umpet, kucing-kucingan, lompat tali, dan sebagainya.
Banyak orangtua yang kemudian mengarahkan anaknya untuk mengikuti les-les yang bisa mengembangkan kecerdasan gerak anaknya, seperti les menari, renang, dan sebagainya. Sayang, anak sering cepat bosan dengan aktivitasnya. Di sinilah guru dan orangtua dituntut untuk jeli memilih kegiatan yang tidak hanya berfokus pada pengembangan keterampilan geraknya, tetapi juga harus bisa mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lainnya.

PERHATIAN !!!
Hindari label bahwa anak yang cerdas gerak, biasanya rendah dalam prestasi akademis.

  1. Kecerdasan Spasial
Kita sering berdecak kagum menyaksikan gedung-gedung pencakar langit yang ada di kota-kota besar. Semua bangunan itu, tentu sudah dirancang dengan apik oleh para arsitek yang andal. Para arsitek dan seniman, seperti Leonardo da Vinci dan legenda pelukis Indonesia, Affandi, atau Walt Disney yang melegenda dengan tokoh-tokoh kartun rekaannya, seperti Mickey Mouse dan Donald Duck adalah contoh dari orang-orang yang memiliki kecerdasan spasial-visual.
Kecerdasan ini melibatkan imajinasi aktif yang membuat seseorang mampu mempersepsikan warna, garis dan luas, serta menetapkan arah dengan tepat.
Kecerdasan spasial umumnya dimiliki para pelukis, pemahat, arsitek, dan pilot. Anak dengan kecerdasan spasial-visual adalah pengamat dunia. Mereka peka terhadap tanda-tanda alam dan mengamatinya secara menyeluruh. Anak dengan tipe kecerdasan seperti ini, biasanya menyukai pelajaran yang dikemas dalam metode diagram, grafik table, dan mind mapping.
Lalu, bagaimana cara Anda mengembangkan kecerdasan spasial-visual anak?
          1. Kenalkan arah.
Saat anak memasuki usia 2 tahun, Anda sudah bisa mengajarkannya mengenal arah dengan mulai membedakan tangan kanan dan kiri atau kaki kanan dan kiri. Jika anak sudah paham, saat jalan pulang ke rumah tanyakan, “Jalan pulang belok kanan atau belok kiri, ya?”
          1. Bermain puzzle dan balok.
Sebaiknya, jumlah puzzle disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Saat anak berusia 3 tahun, cobalah lima keeping puzzle dulu. Semakin usia bertambah, jumlah puzzle pun bertambah. Begitu pun dengan bermain balok, semakin anak bertambah usianya, lebih tinggi pula tingkat kesulitannya.
          1. Belajar bentuk.
Saat Anda membaca buku bersama anak didik, mintalah dia memerhatikan bentuk-bentuk rumah, bola, atau benda yang ada dalam buku. Sebutkan konsep garis, seperti melengkung, lurus, zig-zag, bulat, persegi, atau kerucut. Deskripsikan suatu bentuk secara verbal, lalu mintalah anak menggambarkannya.
Kemudian, ajaklah anak berlatih membentuk berbagai gambar dari sebuah garis atau lengkung. Hal ini bertujuan untuk melatih anak dalam menerjemahkan suatu bentuk ke dalam pikirannya menjadi gambar dua dimensi. Kegiatan mewarnai ini dapat melatih anak mengenal batasan posisi warna merah atau kuning supaya tidak melewati garis.
Sekali-kali, tanyakan kepada anak didik, “Dari sebiah garis lengkung atau titik, bisa menjadi gambar apa, ya?”. Jika jawabannya lebih dari tiga, bisa jadi, anak didik Anda memiliki daya imajinasi bentuk dan ruang yang meyakinkan.
          1. Belajar mengamati.
Saat melihat suatu gambar, ajaklah anak melihat detail-detailnya. Kemudian, tanyakan kembali detail itu, misalnya, “Jendelanya berbentuk apa?” atau “Ceritakan apa saja sih, yang ada di rumah tadi?”.
Selain itu, untuk merangsang kecerdsan spasial anak didik Anda, cobalah Anda juga bisa merancang permainan berburu harta karun dengan menggunakan peta sederhana. Anak dengan kecerdasan spasial, biasanya lebih mudah memahami peta. Sekarang ini, banyak permainan “mencari jalan” yang ada dalam majalah-majalah untuk anak TK disertai dengan cerita dan gambar yang menarik. Insya Allah, anak-anak tidak akan bosan dibuatnya.

  1. Kecerdasan Musik
Musik adalah bahasa universal atau musik adalah ekspresi diri. Ia merupakan pernyataan untuk melukiskan betapa musik mewarnai kehidupan manusia dan dapat diterima dibelahan manapun didunia. Meskipun dapat dikatakan bahwa semua orang suka musik, ternyata tidak banyak orang memahami dan memiliki kecerdasan musik. Tipe kecerdasan ini berkembang sangat baik pada musisi, penyanyi, dan komposer.
Kecerdasan bermusik mencakup kepekaan atau penguasaan terhadap nada, irama, pola-pola, ritme, tempo, instrumen, dan ekspresi musik sehingga seseorang mampu menyanyikan lagu, memainkan musik, dan menikmati musik. Imitasi dan eksplorasi terhadap berbagai bunyi, gambar, dan gerakan, selayaknya menjadi bagian dari pengalaman anak sehari-hari.
Musik tidak hanya berkaitan dengan perkembangan kognitif, tapi juga mampu mengembangkan kecakapan sikap, tingkah laku, dan disiplin anak. Melalui musik, rasa percaya diri anak meningkat, yang kemudian menular ke bidang lainnya, seperti matematika, geografi, ekonomi, dan sebagainya.
Kenali bakat musik anak didik Anda lewat alat-alat musik yang mereka mainkan dan lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Pengenaan musik terhadap anak di sekolah bisa dilakukan dengan cara membuat permainan-permainan menciptakan musik, misalnya dengan alat-alat makan (piring, sendok, atau gelas). Hal ini dapat membantunya mempelajari irama, lemah kuatnya nada, dan tinggi rendahnya bunyi.
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan di sekolah menggali kecerdasan musik anak didik Anda, antara lain :
    • Kenalkan anak lewat berbagai jenis alat musik meskipun hanya lewat gambar.
    • Menyediakan alat-alat musik sederhana, misalnya gitar, drum, piano, tamborin mainan (dari plastik), dan sebagainya.
    • Mengajarkan not balok lewat lagu-lagu sederhana.
    • Untuk melatih kepekaan nada, anak juga dapat diperdengarkan lagu-lagu dengan irama yang berbeda saat dia makan, menggambar, bermain, dan dalam melakukan aktivitas lainnya.
    • Anak-anak cenderung menyukai lagu yang bernada riang. Bernyanyi bisa dikombinasikan dengan kegiatan bermain lainnya, seperti permainan kursi putar.
    • Ajaklah anak untuk menampilkan kebolehan mereka dalam acara-acara sekolah.

  1. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali dan mengembangkan potensi, serta mengekspresikan dirinya.
Seorang anak yang memiliki kecerdasan intrapersonal akan mengetahui kekuatan dan kelemahannya, suasana hatinya, temperamennya, keinginannya, dan motivasinya.
Anak harus belajar mengembangkan kecerdasan personal yang tak lain adalah gabungan dari kecerdasan intrapersonal (self smart/cerdas diri) dan kecerdasan interpersonal (people smart/cerdas sosial). Untuk itu, kepedulian orangtua dan lingkungan sekitarnya terhadap kecerdasan personal, mutlak diperlukan.
Berbeda dengan tipe lainnya, perwujudan tipe kecerdasan ini membutuhkan perpaduan dengan tipe kecerdasan lainnya. Misalnya, perpaduan dengan kecerdasan bahasa akan melahirkan karya sastra yang berisi pemikiran atau filosofi menakjubkan. Anak yang menonjol dalam hal ini sering dsebut self smart. Contohnya, Faiz. Buku-buku kumpulan puisinya yang diterbitkan DAR! Mizan membuat namanya menjadi fenomenal sebagai penyair cilik, disusul Izzati, sepupu Faiz, Chacha, Ghefira, juga penulis-penulis cilik lainnya.
Ketahuilah, konsep diri seorang anak berasal dari pengetahuan yang baik tentang dirinya secara positif, baik itu mengenai mood, temperamen, motivasi, maupun intensinya dalam suatu lingkungan. Tidak cukup sampai di situ, anak juga harus dapat mengutarakan pendapatnya, keinginannya, kebutuhannya, kekecewaannya, kejengkelannya, atau apa pun yang berkecamuk dalam dirinya. Sehingga, dia bisa dipahami dan diterima secara baik oleh lingkungannya. Penerimaan ini akan membuat dirinya menjadi lebih nyaman.

  1. Kecerdasan Interpersonal
Kemampuan personal merupakan suatu keterampilan sosial yang berkaitan dengan ranah afektif dan emosi, seperti masalah etika, motivasi, moral, dan hati nurani.
Kemampuan personal akan menumbuh suburkan nilai-nilai kebaikan universal pada diri anak. Dia diharapkan berkembang menjadi pribadi yang berwatak dan berbudi pekerti luhur, santun, saling menghormati, dan menghargai sesama.
Kemampuan personal yang berkembang baik dapat mengembangkan pula kecerdasan spiritual anak. Dia akan mengerti bahwa dirinya sebagai manusia, hakikatnya adalah pencitraan dari kekuasaan Tuhan sebagai pencipta alam ini.
Ada beberapa komponen yang bisa diterapkan dalam kegiatan keseharian yang bisa membantu anak mengembangkan kemampuan interpersonalnya, antara lain :
  • Komunikasi.
Sering, anak yang tidak dibiasakan berkomunikasi tidak bisa mengungkapkan keinginannya sehingga dia cenderung menjadi pribadi yang tertutup dan mudah “meledak”. Di sinilah guru diharapkan bisa membantu anak belajar menyampaikan kebutuhan, keinginan, hambatan, harapan, pendapat, dan lainnya, baik secara verbal maupun nonverbal. Untuk komunikasi verbal, caranya dengan sering memancing anak mengungkapkan pendapat mengenai berbagai hal. Sementara kemampuan komunikasi nonverbal bisa digali lewat bahasa tubuh dan ekspresi wajah atau lewat gambar.
  • Hubungan dengan orang lain.
Seorang guru dituntut untuk mampu mengenalkan anak pada etika, nilai, dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakatnya. Kalau di dalamnya ada beragam suku dan mungkin beragam bangsa dengan adat kebiasaan dan tata krama berbeda.
Biasakanlah anak untuk mengucapkan terima kasih kepada orang lain, berbagi makanan dengan teman-temannya, dan bagaimana bersikap kepada sesama, kepada orang yang lebih muda atau orang yang lebih tua. Insya Allah, anak akan tumbuh menjadi anak yang berbudi luhur.
  • Kasih sayang.
Ajarkan anak untuk memiliki rasa kasih sayang pada sesama, seperti pada orangtua, teman, guru, dan orang lain. Misalnya, mengunjungi teman yang sakit atau tidak menggangu teman yang lain adalah contoh kasih sayang terhadap teman yang bisa diajarkan di sekolah.
Begitu pula terhadap makhluk hidup lainnya, seperti tanaman dan binatang piaraan. Misalnya, hewan piaraan harus diberi makan dan minum, serta dibersihkan kandangnya.